zwani.com myspace graphic comments

FATWA CINTA SANG RAJA

"Tidak ada Prajurit jelek kalau Pemimpin baik. - Anonim"

"Salah satu cara memecahkan masalah adalah jangan memulai dengan mempersoalkan bagaimana masalah itu terjadi, tetapi mulailah dengan bagaimana masalah tersebut dapat terselesaikan. - Anonim"

"Dalam masalah hati nurani, pikiran pertamalah yang terbaik. Dalam masalah kebijaksanaan, pemikiran terakhirlah yang paling baik. - Robert Hall"

"Orang-orang yang melontarkan kritik bagi kita pada hakikatnya adalah pengawal jiwa kita, yang bekerja tanpa bayaran. - Corrie Ten Boo"



bendera
Myspace Glitter Graphics Maker

Sabtu, 16 Mei 2009

FILOSOFI PISAU BERMATA DUA

Dalam Paskibraka pembinaan dan pelatihannya sering di istilahkan seperti pisau bermata dua. Filosofi pisau bermata dua sangat dalam maknanya, dan harus terus menerus dikembangkan karena merupakan suatu bentuk pembinaan untuk pengembangan diri anggota Paskibraka. Yang dimaksud pisau bermata dua adalah pisau yang tajam dikedua sisinya dan dapat dipergunakan dengan kualitas yang sama baik.
Tajamnya pisau disatu sisi adalah mempersiapkan Paskibraka untuk melaksanakan tugas pengibaran Bendera Pusaka dalam puncak HUT Proklamasi Kemerderkaan Republik Indonesia, tetapi sisi tajam lainnya adalah pembentukan karakter (Character Building) bagi anggota Paskibraka.
Pembinaan Paskibraka hal yang paling utama adalah pembentukan karakter yang berjiwa merah putih, kenapa pembinaan karakter lebih diutamakan karena hal ini sesuai dengan syair lagu Indonesia Raya yaitu : "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya". Dari urutan syair tersebut sangat jelas bahwa pembentukan karakter harus didahulukan, bukan pembentukan badan/phisik. Kalimat Bangunlah Jiwanya adalah pembangunan jiwa/karakter Paskibraka yaitu berjiwa merah putih, siap mengabdi dan berbakti bagi negara Indonesia. Bangunlah badannya adalah pengembangan diri secara personal setiap anggota Paskibraka dan tahap awal jangka pendeknya adalah bertugas sebagai Pengibar Duplikat Bendera Pusaka.

Dari pengertian tersebut maka dalam pembinaan dan pelatihan paskibraka harus selalu diarahkan untuk membentuk karakter. Saat latihan lapangan maka para pelatih dan pembina harus benar-benar memahami metode latihan yang diberikan, sehingga tujuan pembinaan karakter berjalan secara pararel dengan latihan baris berbaris dan tata upacara. Oleh sebab itu segala bentuk latihan yang tidak selaras harus dikaji ulang dan disinkronkan dengan program yang benar. Pelatihan Paskibraka yang diterapan salah didaerah-daerah dengan bumbu kekerasan yang lebih mengedepankan metode hukuman phisik seperti push up, squat jam, dan kekerasan lainnya, sudah saatnya dihapuskan. Apabila ada purna paskibarka yang masih melatih dengan metode kekerasan tersebut, maka layak dipertanyakan dan diragukan kualitas karakternya sebagai seorang purna Paskibraka. Latihan dengan bumbu kekerasan ini tidak sesuai dengan tujuan mulia pembinaan paskibraka yaitu membentuk karakter yang berjiwa merah putih. Kekerasan phisik hanya akan menimbulkan sakit hati dan dendam yang tidak berkesudahan dan tidak akan memberikan hasil yang baik.

Latihan Paskibraka memerlukan suatu sikap yang tegas. Ketegasan adalah sangat berbeda dengan kekerasan, karena dalam melatih seorang pelatih harus tegas dan tidak pilih kasih dalam memberikan pelatihan sesuai aturan yang berlaku, karena dengan ketegasan akan terbentuk suatu sikap disiplin pribadi dari setiap anak didik. Pelatih harus tegas untuk mengatakan mana yang benar dan mana yang salah sesuai aturan yang berlaku tetapi bukan aturan yang sesuai dengan pribadi pelatih melainkan peraturan yang baku. Dengan disiplin maka akan memudahkan dalam memberikan materi-materi lainnya, karena dalam sikap disiplin tersebut terkandung suatu sikap menghargai dan menghormati dari hati sanubari setiap anggota paskibraka. Disiplin waktu adalah suatu sikap untuk menghargai waktu dan orang lain yang harus ditemui. Sikap disiplin diri yang akan membawa kebaikan dan sikap profesional didalam berkarya dimasyarakat.

Dengan pembentukan karakter yang baik diharapkan akan muncul generasi muda yang mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi serta siap untuk memberikan dharma baktinya kepada ibu pertiwi. Sebagai calon-calon pemimpin di masa yang akan datang, maka anggota paskibraka harus mau untuk terus mengembangkan diri sehingga benar-benar memahami filosofi jiwa merah putih yang telah ditanamkan sejak menjadi anggota paskibraka. Dari anggota Paskibraka diharapkan lahir pemimpin-pemimpin bangsa yang berkarater, baik dari segi intelektual, integritas dan budi pekerti yang luhur sesuai dengan ajaran agama dan norma-norma masyarakat yang berlaku.

Wassalam,

Kak Moel_Y@

Purna Paskibraka Indonesia - Lombok Barat

Wakil Ketua Pengurus PPI Kab. Lombok Barat

KRITERIA ANGGOTA PASKIBRAKA


Pada puncak peringatan hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus akan selalu dilaksanakan suatu upacara yang megah di setiap tingkat, wilayah, kotamadia/kabupaten, propinsi maupun nasional.
Rangkaian upacara selain pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah Pengibaran Bendera Merah Putih. Pada saat itulah anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) melaksanakan tugas mengibarkan Bendera Merah Putih. Anggota Paskibraka adalah generasi muda Indonesia yang yang terpilih dari ribuan siswa sekolah melalui seleksi yang berjenjang. Mereka adalah adalah siswa-siswa pilihan yang mempunyai kelebihan dan prestasi yang dapat dibanggakan dan diharapkan akan menjadi penerus para pejuang untuk menjadi pemimpin Indonesia yang mempunyai rasa nasionalisme tinggi, selalu menjaga keutuhan, persatuan dan kesatuan Republik Indonesia.

Kriteria umum calon anggota Paskibraka adalah sebagai berikut :

  • Pendidikan :
    1. Pelajar atau Siswa sekolah setingkat SMTA.
    2. Berusia antara 16 – 18 tahun.

  • Mempunyai akhlak dan moral yang baik, yaitu :
    1. Mentaati kewajiban agama yang dianutnya.
    2. Memahami norma-norma etika yang berlaku dalam masyarakat.
    3. Berbudi pekerti luhur serta mempunyai tingkah laku yang baik.
    4. Memahami, mempunyai dan melaksanakan etika, sopan santun pergaulan yang baik.

  • Berkepribadian, yaitu :
    1. Mudah dan pandai bergaul.
    2. Bersahaja, sopan dan disiplin.
    3. Mandiri.
    4. Cerdas dan mempunyai prestasi akademis /sekolah yang baik.

  • Kesehatan, yaitu :
    1. Sehat jasmani dan rohani.
    2. Sigap, tangkas dan licah.
    3. Tegap, tidak cacat badan dan tidak berkaca mata.
    4. Tinggi badan :
    Putra : 170 cm - 175 cm, Putri : 165 cm - 170 cm, dengan berat badan yang seimbang.
    5. Berpenampilan segar, bersih dan menarik.

  • Ketrampilan, yaitu :
    1. Mahir baris berbaris.
    2.Menguasai peraturan dan perlakuan tentang Bendera Kebangsaan dan dapat melaksanakan tugas pengibaran dengan baik.
    3. Mempunyai pengetahuan umum secara daerah, nasional maupun internasional dengan sangat baik.
    4. Menguasai/Trampil melakukan budaya/kesenian daerahnya.

Tahap seleksi :
Seseorang yang akan menjadi anggota Paskibraka wajib dan harus melalui beberapa tahap seleksi, yaitu :

1. Seleksi Tingkat Sekolah. Peserta dipilih dan diseleksi di sekolahnya oleh para guru.

2. Seleksi Tingkat Kotamadia /Kabupaten. Peserta dari perwakilan sekolah akan diseleksi di tingkat Kotamadya/ Kabupaten dengan materi : baris berbaris, tata upacara bendera, kesegaran jasmani/olah raga, test tertulis, wawancara, , kesenian dan lain sebagainya. Test tertulis dan wawasncara meliputi bidang : pengetahuan umum, pengetahuan daerah, nasional dan internasional, kepemudaan, nasionalisme dan sejarah perjuangan bangsa.
Dari seleksi ini akan terpilih satu atau dua pasang calon anggota paskibraka yang akan mengikuti seleksi di tingkat propinsi. Bagi yang tidak lolos maka akan diseleksi lagi untuk terpilih sebagai anggota paskibraka tingkat kotamadya/kabupaten.

3. Seleksi Tingkat Propinsi. Peserta test tingkat propinsi adalah peserta yang lulus test di tingkat Kotamadia / Kabupaten di masing-masing propinsi, dengan materi seleksi sama dengan di tingkat Kotamadia/Kabupaten. Biasanya peserta di tingkat propinsi akan diasrama selama beberapa hari untuk mengetahui tekad, semangat dan kemandiran. Selain itu akan terlihat kebiasaan masing-masing peserta terutama dalam melaksanakan tugas sehari-hari seperti dirumahnya masing-masing misalnya mencuci, mengepel, membersihkan dan mengataur kamar dan lain sebagainya.
Dari seleksi tingkat propinsi akan terpilih sepasang utusan (satu orang putra dan satu orang putri) untuk menjadi anggota paskibraka di tingkat nasional. Bagi yang tidak terpilih akan bertugas sebagai anggota paskibraka ditingkat propinsi.

4. Anggota Paskibraka Nasional.
Anggota Paskibraka tingkat nasional adalah sepasang utusan tiap propinsi yang akan mengikuti pemusatan latihan selama satu bulan di Jakarta. Mereka akan bertugas pada puncak peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi di Istana Merdeka Jakarta. Dalam pemusatan latihan di asrama maka akan dilakukan seleksi untuk pembagian kelompok yaitu kelompok 17 (tujuh belas) dan 8 (delapan) dan tugas di masing-masing kelompok.

Demikian gambaran syarat-syarat untuk menjadi anggota Paskibraka. Semoga bermanfaat bagi persiapan para siswa sekolah yang berminat untuk mengikuti seleksi menjadi Paskibraka.

Wassalam,

Kak Moel_Y@

Purna Paskibraka Indonesia - Lombok Barat

Wakil Ketua Pengurus PPI Kab. Lombok Barat


SEJARAH PURNA PASKIBRAKA INDONESIA

PURNA PASKIBRAKA INDONESIA
Dari Dulu Hingga Kini

Logo Purna Paskibraka IndonesiaCikal bakal berdirinya organisasi alumni Paskibraka sebenarnya dimulai secara nyata di Yogyakarta. Pada tahun 1975, sejumlah alumni (Purna) Paskibraka tingkat Nasional yang ada di Yogya, berkeinginan untuk mendirikan organisasi alumni, lalu mereka menyampaikan keinginan itu kepada para pembina di Jakarta. Para pembina lalu menawarkan sebuah nama, yakni REKA PURNA PASKIBRAKA yang berarti ikatan persahabatan para alumni Paskibraka. Tapi, di Yogya nama itu kemudian digodok lagi dan akhirnya disepakati menjadi PURNA EKA PASKIBRAKA (PEP) Yogyakarta, yang artinya wadah berhimpun dan pengabdian para alumni Paskibraka. PEP DI Yogya resmi dikukuhkan pada 28 Oktober 1976. Seiring dengan itu, para alumni Paskibraka di Jakarta kemudian meneruskan gagasan pendirian organisasi REKA PURNA PASKIBRAKA (RPP). Sementara di Bandung, berdiri pula EKA PURNA PASKIBRAKA (EPP). Namun, dalam perkembangannya, ketiga organisasi itu belum pernah melakukan koordinasi secara langsung untuk membentuk semacam forum komunikasi di tingkat pusat. Sementara itu, di daerah lain belum ada keinginan untuk membentuk organisasi, karena jumlah alumninya masih sedikit — berbeda dengan Jakarta, Bandung dan Yogya yang menjadi kota tujuan para alumni Paskibraka untuk melanjutkan sekolah. Sampai awal 80-an, alumni Paskibraka di daerah lain hanya dibina melalui Bidang Binmud Kanwil Depdikbud. Mereka selalu dipanggil sebagai perangkat dalam pelaksanaan berbagai upacara dan kegiatan. Mereka dilibatkan dalam kegiatan pembinaan generasi muda, karena dianggap potensial sesuai predikatnya.

Tahun 1980, Direktorat Pembinaan Generasi Muda (PGM) berinisiatif untuk mendayagunakan potensi alumni berbagai program yang telah dilaksanakan, termasuk program pertukaran pemuda Indonesia dengan luar negeri (saat itu baru CWY atau Indonesia-Kanada dan SSEAYP atau Kapal Pemuda ASEAN-Jepang). Organisasi itu diberi nama PURNA CARAKA MUDA INDONESIA (PCMI). Maka, selain di Jakarta, Bandung dan Yogya, seluruh Purna Paskibraka di daerah lainnya digabungkan dalam PCMI. Hal itu berlangsung sampai tahun 1985, ketika Direktorat PGM ”menyadari” bahwa penggabungan Purna Paskibraka dengan alumni pertukaran pemuda bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Karena itu, sebagai hasil dari Lokakarya Pembinaan Purna Program Binmud di Cisarua, Bogor —yang dihadiri oleh para Kabid Binmud seluruh Indonesia serta para alumni Paskibraka dan pertukaran pemuda— dikeluarkan SK Dirjen Diklusepora No. Kep.091/ E/O/1985 tanggal 10 Juli 1985 yang memisahkan para alumni dalam dua organisasi, masing-masing PCMI untuk alumni pertukaran pemuda dan PURNA PASKIBRAKA INDONESIA (PPI) untuk alumni Paskibraka. Dengan alasan untuk menjaga agar keputusan itu tidak ”mencederai hati” para Purna Paskibraka yang telah lebih dulu mendirikan PEP, RPP dan EPP, maka ditetapkanlah bahwa PPI adalah organisasi binaan Depdikbud yang bersifat regionalprovinsial. Artinya, organisasi itu ada di tiap provinsi namun tidak mempunyai Pengurus di tingkat pusat. Itu, sebenarnya sebuah pilihan yang sulit, bahkan ”absurd”. Bagaimana sebuah organisasi bernama sama dan ada di tiap provinsi tapi tidak mempunyai forum komunikasi dan koordinasi di tingkat pusat. Ternyata, hal itu dipicu oleh kekhawatiran organisasi kepemudaan ”tunggal” asuhan pemerintah yang melihat PPI adalah sebuah ancaman. Namun, dengan kegigihan para Purna Paskibraka yang ada di Jakarta, akhirnya kebekuan itu dapat dicairkan. Empat tahun harus menunggu dan bekerja keras untuk dapat menghadirkan Pengurus PPI daerah dalam sebuah Musyawarah Nasional (Munas). Tanggal 21 Desember 1989, melalui Munas I di Cipayung, Bogor, terbentuklah secara resmi PPI Pusat, lengkap dengan perangkat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
Sumber : Bulletin Paskibraka 78, Edisi Oktober 2007
Penulis : PPI ‘78

IN MEMORIAM OF BUNDA BUNAKIM


"Terlalu indah dilupakan
terlalu sedih dikenangkan
setelah aku jauh berjalandan kau kutinggalkan

Betapa hatiku bersedih
mengenang kasih dan sayangmu
setulus pesanmu kepadaku
dan kau kan menunggu

Andai kan kau datang kembali,
jawaban apa yang kan ku beri,
adakah jalan yang kutemui
untuk kita kembali lagi

Bersinarlah bulan purnama
seindah serta tulus cintanya
bersinarlah terus sampai nanti
lagu ini ku akhiri."


Sayup-sayup terdengar lagu dari suara lembut Ruth Sahanaya. Anganku melambung, mengenang seorang wanita lain yang tetap hadir dalam hatiku selain ibu dan istriku. Dialah Bundaku, Bunda Boenakim, Bunda Paskibraka yang sudah berpulang menghadap Sang Pencipta pada suatu pagi, tanggal 1 Juli 2005. Tahun 1978 aku mengenal Bunda dan menjadi anaknya untuk waktu tak sampai sebulan. Tapi, sepulangnya dari asrama Paskibraka, bagiku ia tetap menjadi Bunda, begitu pula bagi semua Purna Paskibraka yang berjumlah lebih dari seribu orang. Di mata anak didiknya, Bunda adalah ibu yang baik, penuh perhatian dan cinta. Semua orang menyayanginya dan selalu terkenang akan sapaannya yang akrab dan bersahaja.Bunda Boenakim tidak pernah mau merepotkan orang lain. Selalu bertutur ramah dan sumringah dengan siapapun, walau jari jemari tangannya yang keriput tetap sibuk dengan benang dan jarum menjahit pakaiannya sendiri. Bunda yang sederhana adalah sosok pembina yang sangat akrab di asrama maupun di mana saja kita bertemu. Teman ngobrol yang enak, karena selalu nyambung. Memberikan petuah tentang kehidupan dengan bahasa yang lugas dan menunjukkan tauladan hidup yang membumi. Bunda selalu tersenyum setiap waktu. Jarang sekali dia marah, namun dia akan benarbenar marah jika ada yang menginjak-nginjak harga diri anak-anaknya. Termasuk ketika anggota Paskibraka diperlakukan dengan salah dan seenaknya oleh para pelatih dari militer. Tetapi, dengan penuh cinta ia mau memberi maaf setelah para pelatih sadar dan mau mengubah sikap mereka yang salah.

Suatu saat, aku pernah sama-sama naik bis kota dengan Bunda. Dengan sigap dan lincah di usia yang tergolong lanjut, ia mencari tempat kosong di tingah himpitan penumpang yang berjubel. Dengan spontan Bunda mengucapkan terima kasih kepada seorang pelajar yang memberinya tempat duduk. Ketulusan dan pesona Bunda begitu membekas, terlebih ucapan lembutnya setiap malam di asrama, saat mengantar anggota Paskibraka menuju peraduan. Dia selalu mengingatkan agar kita selalu hormat dan patuh kepada orangtua dan kepada orang yang lebih tua, di manapun kita berada. Bunda mengingatkan kita agar selalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa untuk kesehatan dan kebahagiaan orangtua. Dia mengajari kita untuk terus berbakti kepada Ibu Pertiwi dan kepada semua ibu yang melahirkan kita. Dengan kesederhaan Bunda mengajari kita akan hidup yang penuh perjuangan dan jangan pernah berputus asa. Sama seperti cerita perjuangan Bunda saat menghadapi suami yang wafat di pangkuannya. Dengan tabah dantulus serta tawakal, Bunda menyerahkan jiwa suaminya kehadirat Yang Maha Kuasa untuk kemuliaan bumi Indonesia. Begitu banyak kenangan indah yang Bunda ajarkan kepada kita dan kita belum bisa mengikuti semua teladan yang ditunjukkannya. Semoga Bunda sekarang berada di alam kelanggengan dengan penuh kebahagian sesuai amal dan ibadah yang begitu indah dan penuh warna. Sekarang, aku semakin tahu bahwa Bunda Boenakim dengan tulus ikhlas sangat mengasihi kita. Semua dilakukan dengan teladan citra diri dan kasih sejati. Bunda, memang selalu mengajari serta membina dengan hati dan cinta.

(Budi Winarno - Bulletin Paskibraka '78 edisi juni 2007)

SOSOK - ILYAS KARIM

(Sang Pengibar Bendera Pusaka Bercelana Pendek)

Ilyas Karim (Celana Pendek)Bendera Pusaka Sampai menjelang peringatan 63 Tahun Indonesia Merdeka, tak banyak orang tahu siapa sebenarnya pemuda bercelana pendek yang mengibarkan bendera pusaka seusai proklamasi tahun 1945. Dia adalah Ilyas Karim dan masih ada di tengah-tengah kita.

Pagi itu, tanggal 17 Agustus 1945, Ilyas Karim dan teman-temannya dari Angkatan Muda Islam (AMI) sedang berkumpul di markas mereka, Jalan Menteng 31. Seperti biasa, anak-anak muda nasionalis itu selalu serius membicarakan situasi politik terakhir menjelang kemerdekaan Indonesia. Tanpa diundang, tiba-tiba datanglah Latief Hendraningrat, salah satu ChuDancho (komandan) PETA (Pembela Tanah Air) di Jakarta. ”Ayo, kamu semua ikut saya ke Pegangsaan Timur. Di sana mau ada keramaian!” ajaknya. Tanpa banyak komentar, bersama sekitar 50 orang anggota AMI, Ilyas bergegas. Sesampainya di sana, mereka segera bergabung dengan banyak orang yang sudah hadir lebih dulu. Cuaca pagi itu tidak begitu panas dan suasana di rumah besar itu tampak tenang. Daerah sekitar Pegangsaan Timur dijaga ketat oleh anggota PETA. Keluar dari dalam sebuah ruangan, Latief kembali menemui Ilyas. Tanpa basa-basi ia bertanya, ”Kamu bisa mengibarkan bendera nggak?” Ilyas yang saat itu tidak menggunakanalas kaki segera menjawab, ”Bisa Pak!” ”Baik, nanti kamu bertugas mengibarkan bendera bersama Singgih,” perintah Latief. Pada sekitar pukul sepuluh pagi, peristiwa bersejarah itupun terjadi. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun dilaksanakan. Didampingi Bung Hatta, Bung Karno membacakan naskah Proklamasi yang menandai diumumkannya pernyataan kemerdekaan Indonesia di depan rumah nomor 56 itu. Tak lama setelah itu, Latief Hendraningrat Latief menuju ke pintu rumah Bung Karno. Dari tangan Ibu Fatmawati, Latief menerima sebuah bendera berwarna Merah-Putih. (Bendera yang dijahit sendiri oleh Ibu Fatmawati dari dua carik kain yang diperolehnya dengan susah payah itu kelak disebut sebagai bendera pusaka). Berbalik ke halaman, bendera itu diserahkan Latief kepada Singgih yang memakai seragam PETA (karena ia juga salah seorang ChuDancho) dan Ilyas Karim yang mengenakan celana pendek. Kedua pemuda itu segera menuju tiang bendera. Di depan tiang, Singgih meraih tali dan mengikatkan bendera. Setelah siap, Latief memberi aba-aba penghormatan kepada bendera dan seluruh hadirin memberikan penghormatan. Diiringi paduan suara sebuah sekolah yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, Singgih menarik tali dan mengerek bendera Merah Putih naik perlahan ke puncak tiang. Ilyas memegangi bagian tali yang lain sambil mengulurnya mengikuti tarikan Singgih dan menjaga agar bendera berkibar tidak terjepit. Akhirnya, bendera sampai di puncak tiang. Dan itulah kali pertama bendera Merah Putih berkibar secara resmi sebagai bendera kebangsaan Republik Indonesia.

Ilyas KarimFoto Ilyas mengibarkan bendera kini terabadikan dalam buku-buku sejarah. Tubuh cekingnya tampak mengenakan kemeja dan celana pendek putih, sementara Singgih mengenakan seragam tentara lengkap. Bung Karno, Bung Hatta, dan Ibu Fatmawati mendongak ke atas menyaksikan bendera yang mulai naik ke puncak tiang. (Foto itu merupakan satu dari dua foto peristiwa proklamasi yang paling terkenal). Seusai upacara, Bung Karno mengajak hadirin masuk ke ruang tengah rumahnya untuk menyantap makanan ringan. Ilyas bergabung dengan tamu yang lain dan ikut makan kue, termasuk kue bolu yang didatangkan dari Senen. Bung Karno menghampiri Ilyas dan kawan-kawan sembari memberi wejangan. ‘’Kalian para pemuda. Belajarlah yang sungguh-sungguh. Kalau berdagang, berdaganglah yang sungguh – sungguh” ucap sang founding father. Namun, beberapa saat kemudian, ada yang menyuruh agar kue - kue dibawa keluar dan dimakan di halaman. Ternyata, itu hanya cara para pemimpin ”mengusir” hadirin secara halus dari dalam rumah. Bung Karno, Bung Hatta dan para tokoh politik kemudian mengadakan pertemuan di dalam rumah itu. Ilyas sendiri tak tahu apa yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut. Bersama teman-temannya ia ikut keluar ke halaman, lalu membubarkan diri setelah semua hadirin pulang. Sesampainya di rumah, Ilyas segera menemui ibunya dan menceritakan kalau tadi ia bertugas mengibarkan bendera Merah Putih di Pegangsaan Timur seusai Bung Karno membacakan naskah Proklamasi. Ibunya sangat gembira dan berkata, ”Syukur Alhamdulillah. Akhirnya kita merdeka juga, ya. Semoga apa yang kamu lakukan tadi dapat ridho dari Allah.”

Itulah sebuah pengalaman yang detilnya begitu lekat di kepala Ilyas Karim, sampai kini usianya mencapai 80 tahun lebih. Perannya sangat besar, walaupun di hari-hari seputar Agustus 1945 itu semuanya seolah ”lenyap” ditelan hingar-bingar suara mengelu-elukan Soekarno-Hatta dan kegembiraan mencapai kemerdekaan. “Saat itu, dari AMI ada 50 pemuda yang ikut ke Pegangsaan Timur 56. Saya juga tidak mengerti, mengapa akhirnya saya yang dipilih oleh Latief untuk ikut mengibarkan bendera. Barangkali, ini hanya keberuntungan saya,” katanya. Pada 17 Agustus 1945 itu, anak-anak muda AMI memang diberi tugas oleh Chaerul Shaleh untuk mengawal prosesi proklamasi kemerdekaan di Pegangsaan Timur. ChuDancho Singgih, yang saat itu tentara PETA, ditugaskan mengerek bendera. Latief Hendraningrat-lah yang kemudian menugaskan Ilyas membantu Singgih memegangi bendera. Dari 50-an pemuda AMI, kebetulan Ilyas yang paling muda, 18 tahun, dan badannya paling kecil. ‘’Dipikirnya saya yang paling gesit,’’ kata dia sembari terkekeh. Untungnya Ilyas punya pengalaman mengibarkan bendera ketika sekolah tarbiyah di Banten. Bedanya yang ia kibarkan saat itu adalah bendera Belanda. Lagunya pun lagu kebangsaan Belanda. Dipilih mengibarkan bendera saat proklamasi, kontan saja Ilyas merasa bangga Peristiwa itu mahapenting. ‘’Itu adalah titik balik bagi Indonesia dari bangsa budak menjadi bangsa merdeka. Dan, saya terlibat dalam peristiwa paling bersejarah itu,’’katanya.
Keberuntungan itu bagi Ilyas merupakan sebuah anugerah yang pantas disyukuri. Namun, bagi pemuda Indonesia, sosok Ilyas Karim yang muncul sebagai salah satu pelaku sejarah kemerdekaan adalah sebuah simbol. Dan bagi Paskibraka, sosok Ilyas bukan saja mewakili pemuda, tapi juga remaja berusia 18 tahun yang kemudian mengilhami gagasan pengibaran bendera pusaka oleh Paskibraka.

Sumber : Bulletin Paskibraka 78, Edisi Juli – Agustus 2008
Penulis : Budiharjo Winarno

PESAN - PESAN PEMBINA

Husein Mutahar
HUSEIN MUTAHAR
(Lahir : Semarang, 5 Agustus 1916, Wafat : Jakarta, 9 Juni 2004)

Kebutuhan dunia yang terbesar adalah kebutuhan akan manusia...
Manusia yang tidak mau dijual, juga tidak mau dibeli.
Manusia yang dalam lubuk hatinya ada kebenaran dan kejujuran.
Manusia yang tidak takut untuk menyebut dosa dengan kebenaran namanya sendiri.
Manusia yang nuraninya teguh terhadap kesajiban patuhnya jarum kompas menjunjukkan arah kutub.
Manusia yang tegar membela kebenaran meski langit runtuh menimpanya.

Namun, watak seperti itu bukanlah sesuatu yang tercipta secara kebetulan.
Bukan kemurahan hati atau imbalan jasa dari orang lain.
Watak luhur adalah hasil penataan dan disiplin diri.
Hasil dari sikap merendah terhadap kekuasaan alam.
Hasil pasrah diri untuk mengabdi kepada Tuhan dan sesama manusia dengan penuh rasa kasih sayang...



Dharminto Surapati
DHARMINTO SURAPATI
(Lahir : 20 Agustus 1932, Wafat : Jakarta, 7 September 2007)

Seorang manusia semakin lama akan semakin tua.
Satu demi satu, kami yang tua-tua ini akan pergi dan tak selamanya berada diantara kalian.
Jangan biarkan kepergian kami tanpa jejak dan peninggalan.
Jadilah semua "Roda Gendheng" yang mampu terus berputar dan memutar roda-roda lainnya meski sumber tenaga awalnya sudah tidak mempunyai kekuatan lagi...



Idik Sulaeman
IDIK SULAEMAN

Karena benda inilah (Red:bendera merah putih) kita berkumpul di Desa Bahagia...
Saling kenal, saling bercerita, saling cinta dalam satu rasa: Aku Putera Indonesia.
Meskipun hanya kenangan saat menjadi anggota Paskibraka,
Jiwa dan semangatnya terasa abadi dan lestari.
Pertahankanlah terus dan selalu kobar-kobarkanlah jiwa dan semangat itu!


Bunda Bunakim
BUNDA BUNAKIM
(Lahir : Tahun 1917, Wafat : Juli 2005)

Dalam bekerja, kalian harus selalu menjadi kuli-kuli kencang yang tidak punya "wudhel" (pusar).
Yaitu orang yang mampu bekerja keras dan terus mengabdi untuk kepentingan sesama tanpa mengharapkan pamrih apapun juga.
Jangan mundur dari apa yang diniatkan.
Cita-cita harus tercapai bila kalian sudah terlanjur basah.
The show must go on, move forward and never retreat!

Sumber : Bulletin Paskibraka 78, Edisi Oktober 2007

ANTARA SOEKARNO & SOEHARTO

Sebuah Pengalaman Pribadi Husein Mutahar

Apa yang dikisahkan berikut ini merupakan pengalaman pribadi Kak Mutahar bersama dua orang nomor satu di Republik Indonesia: Soekarno dan Soeharto. Diakui Kak Mut, pendapat pribadinya belum tentu sama dengan orang lain. "Sebagai mantan ajudan dan staf, aku mikul dhuwur mendhem jero, sehingga yang kucerita-kan kebaikannya saja. Soal kekurangannya, biarlah orang lain yang menceritakan," ujar Kak Mut.

Beberapa kali cerita ini dipaparkan kepada saya, sebagian di antaranya di depan teman-teman Paskibraka '78 yang lain. Kak Mut sering bilang, kisah ini sebenarnya tidak terlalu penting. Tapi saya melihat sebaliknya: sebagai sebuah sisi penting yang menunjukkan siapa sebenarnya seorang Husein Mutahar. (Budi W)

Mutahar dan Soekarno

BUNG Karno (BK) lahir di Blitar dan tumbuh di masa sulit serta penuh perjuangan. Sebagai orang Jawa Timur bicaranya cep las ceplos tanpa tedeng aling-aling. Suaranya mungkin terdengar kasar, tetapi memang itulah Soekarno. Kalau sedang marah, semua keluar dengan seketika. Tapi, secepat itu pula ia minta maaf bila merasa ada kata-katanya yang menyinggung perasaan.

Suatu hari, ajudan BK datang ke rumahku dan bilang, "Pak Mutahar dipanggil menghadap Bapak (BK) di istana." Aku jawab, "Baik, saya ganti baju dulu dan nanti menyusul ke istana." Tetapi si ajudan bertahan, "Tadi Bapak pesan Pak Mutahar harus ikut bersama saya."

Wah, sepertinya penting sekali. Maka aku bergegas, dan sesampai di istana langsung menuju ke ruang kerjanya. Kulihat muka BK kusut dan sepertinya sedang marah besar. "Mut, kamu tahu kenapa aku panggil?" Aku menjawab santai, "Lha ya nggak tahu. Wong Bapak yang manggil saya, mana saya tahu."

"Aku mau marah!" hardik BK lagi. "Ya marah aja. Mau marah kok nunggu saya," jawabku sekenanya, karena aku kenal betul sifatnya.

Ternyata, jawabanku itu membuatnya benar-benar marah. Dalam bahasa Belanda BK mengeluarkan unek-uneknya selama hampir dua jam, padahal aku tidak tahu sebabnya. Aku mendengarkan saja, sampai kemarahan itu kendor dan akhirnya BK diam. Aku lalu bilang, "Bung, marahnya sudah selesai kan? Kalau sudah, aku tak pulang..."

BK langsung melotot ke arahku. Dalam hati aku berkata, "Wah, salah omong aku. Bisa-bisa dia marah lagi..." Tapi ternyata tidak, karena mata-nya kembali meredup. "Ya sudah, pulang sana!" katanya memerintah.

"Kalau begitu saya pamit," jawabku sambil keluar dan terus pulang. Tapi tak lama kemudian, ajudannya datang lagi ke rumahku.

Aku langsung menyambar, "Ada apa? Saya dipanggil lagi untuk dima-rahi ya?" Sang ajudan cuma mesem-mesem. "Nggak kok Pak Mut. Saya disuruh Bapak ngantar ini," katanya sambil menyerahkan tas — yang setelah kubuka ternyata isinya berbagai macam kue.

Sambil mengucapkan terima kasih kepad si ajudan, aku tersenyum. "Dasar wong gendeng. Kalau bar nesu (habis marah) ngirimi kue, ya sering-sering aja marah biar giziku terjamin," kataku dalam hati.

Esoknya aku bertemu lagi dengan BK dan kulihat wajahnya sumri-ngah. Maka aku menegur, "Bung, kalau masih mau marah sama saya, silahkan. Tapi jangan lupa kuenya dikirim lagi."

BK tertawa keras. "Mut, kamu tahu kenapa saya marah?" Aku menjawab, "Ya nggak tahulah. Wong Bapak marahnya banyak sekali, jadi saya nggak ingat."

"Makanya aku panggil kamu untuk aku marahi. Lantaran aku tahu kamu pasti tutupi kupingmu dengan kapas biar nggak dengar omong-anku," kata BK sambil ngeloyor pergi. ***

Mutahar dan Soeharto

PAK Harto lahir dan besar di Yogyakarta dan sekitarnya. Begitu juga selama masa perjuangan, ia banyak berkiprah di tanah kelahiran-nya. Maka tak aneh jika sifatnya lembut. Kultur Jawa-nya sangat kental, tutur katanya halus dan pandai menyimpan perasaan. Kalau menegur pasti menggu-nakan krama halus, dan sebagai orang Jawa suka memakai bahasa simbol dan lebih sulit dipahami.

Pada suatu hari di awal bulan Agustus 1968, aku dipanggil menghadap ke istana. Berdua saja di ruang kerjanya, dengan sebuah kotak berukir di atas meja, Pak Harto memulai pembicaraan. "Pak Mutahar kan tahu bahwa bendera pusaka sudah cukup tua dan kondisinya semakin rapuh. Saya ingin menggantinya agar tidak robek pada saat dikibarkan di hari kemerde-kaan nanti. Bagaimana pendapat Bapak?"

Aku terdiam beberapa saat dan mencari jawaban yang tepat. "Pak Harto," kataku dengan hati-hati, "saya tahu bendera pusaka sudah rapuh. Tapi kalau boleh saya memberi saran, sebaiknya bendera pusaka tetap dikibarkan sekali lagi tahun ini. Setelah itu, mau diganti dengan bendera lain terserah Bapak."

"Mengapa harus tetap dikibarkan?" tanya Pak Harto lagi.

"Karena ini adalah bendera Merah Putih yang perta-ma kali dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan. Jadi sebaiknya bendera ini dikibarkan juga pada saat estafet kepemimpinan beralih ke tangan Bapak, selain sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih kepada para pejuang kemerdekaaan," ujarku menjelaskan. Tahun 1968, memang tahun pertama Pak Harto menjabat Presiden RI setelah dilantik dalam Sidang Umum MPRS, 27 Maret 1968.

Pak Harto tersenyum dan kemudian berkata, "Baik-lah, pendapat bapak akan saya pertimbangkan. Tetapi saya masih mau minta tolong kepada Pak Mutahar untuk memastikan apakah bendera yang ada didalam kotak ini benar-benar bendera pusaka yang asli. Saya tahu Pak Mutahar yang menyelamatkan bendera pusaka pada saat perjuangan dulu, jadi pasti bisa mengenalinya."

Aku kaget setengah mati. Bagaimana kalau bendera yang di dalam kotak itu bukan bendera pusaka, wah, bisa celaka aku. Aku berpikir keras bagaimana caranya bisa meyakinkan Pak Harto tentang keaslian bendera pusaka tanpa harus memeriksanya sendiri. "Maaf Pak Harto. Bukan saya tidak mau memenuhi permintaan Bapak, tetapi biarlah saya jelaskan secara detail ciri-cirinya, setelah itu silahkan Bapak memeriksa dan memastikan sendiri keaslian bendera pusaka. Jika ciri-cirinya cocok berarti asli," ujarku dan setelah itu cepat-cepat mohon pamit.

Nyatanya, Pak Harto mendengarkan usulanku. Bendera dalam kotak itu memang asli bendera pusaka. Dan, pada puncak upacara HUT Proklamasi 1968, bendera pusaka yang asli itu kembali berkibar di tiang 17 Istana Merdeka Jakarta. ***


Wassalam,

Teratai Merah_Putih

PASKIBRAKA, BERAWAL DARI SEBUAH GAGASAN...


Kelahiran sebuah korps yang kelak (dengan bangga) menyebut dirinya Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) sebenarnya terjadi secara tidak disengaja. Beberapa hari menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI yang pertama, Presiden Soekarno memberi tugas kepada salah satu ajudannya, Mayor M. Husein Mutahar, untuk mempersiapkan upacara peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1946, di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Mutahar, yang dikenal punya rasa kebangsaan sangat kental (ditandai dengan lagu-lagu ciptaannya seperti Hari Merdeka dan Syukur), segera memenuhi permintaan Bung Karno. Acara pun disusun satu persatu, mulai dari pembacaan naskah Proklamasi. Namun, tiba-tiba Mutahar teringat akan sesuatu. Menurut dia, rasa cinta Tanah Air, persatuan dan kesatuan bangsa wajib dilestarikan kepada generasi penerus. “Tapi, simbol-simbol apa yang bisa digunakan?”
Melalui materi yang akan dipakai pada upacara itu, Mutahar memilih pengibaran bendera (pusaka). Dalam benaknya, pengibaran lambang negara itu memang sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia (seperti juga pada tahun 1945).
Tanpa buang waktu, ditunjuknya lima pemuda (terdiri dari tiga putri dan dua putra) untuk menjadi pelaksana pengibaran bendera. Lima orang itu, dalam pikiran Mutahar adalah simbol dari Pancasila. Salah satu pengibar bendera pusaka pada 17 Agustus 1946 itu adalah Titik Dewi, pelajar SMA asal Sumatera Barat yang saat itu sedang menuntut ilmu dan tinggal di Yogyakarta.
Dari pengalaman pertama tahun 1946 itu, Mutahar menganggap apa yang dilakukannya sudah tepat. Bung Karno pun tidak memprotes keputusan yang diambil Mutahar untuk menyerahkan tugas pengibaran bendera pusaka kepada para pemuda. Berturut-turut, pada tahun 1947 dan 1948, pengibaran bendera oleh lima pemuda asal berbagai daerah itu terus dilestarikan.
Pada akhir tahun 1948 Bung Karno serta beberapa Pemimpin sempat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Parapat (Sumatera Utara), lalu dipindahkan ke Muntok (Bangka). Saat itu, bendera pusaka sempat diselamatkan oleh Husein Mutahar dari sitaan Belanda, bahkan dikirimkan ke Bangka dengan cara yang rumit dan sulit.
Tanggal 6 Juli 1949, Bung Karno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka kembali dikibarkan di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Seusai penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan lndonesia pada 27 Desember 1949 di Den Haag (Konferensi Meja Bundar), Ibukota Republik Indonesia dikembalikan ke Jakarta. Pada 17 Agustus 1950, pengiabran bendera pusaka dilaksanakan di halaman Istana Merdeka Jakarta. Husein Mutahar tidak lagi terlibat, karena regu-regu pengibar bendera pusaka diatur oleh Rumah Tangga Kepresidenan RI. Pada kurun waktu tersebut, pada pengibar kebanyakan diambil dari unsur pelajar atau mahasiswa yang ada di Jakarta.
Meski hanya empat kali (1946-1949), pengibaran bendera pusaka di yogya oleh lima pemuda mewakili daerah yang digagas Husein Mutahar telah menjadi tonggak untuk menopang kelahiran Paskibraka. Dan, cita-cita Mutahar mengumpulkan pemuda dari seluruh Indonesia untuk mengibarkan bendera pusaka itu, kelak terwujud juga tahun 1968…


Ditulis oleh © Syaiful Azram, Paskibraka 1978

Jumat, 15 Mei 2009

KISAH CHAERUL BAHRI MENCARI GEDUNG PEGANGSAAN TIMUR 56


Chaerul Basri ada­lah pemuda asal Bukittinggi yang pada tahun 1944 mendapat tugas dari Ibu Fatmawati, istri Bung Karno, untuk mencarikan kain merah dan putih. Setahun kemudian, dua carik kain merah dan putih itu telah berubah menjadi sebuah bendera berukuran 2x3 meter yang dikibarkan beberapa saat setelah Proklamasi dibacakan, di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Bendera itu kemudian disebut sebagai bendera pusaka.
(Baca kisah-dua-carik-kain-merah-dan-putih.html)
Semenjak berusia delapan tahun, Chaerul memang seorang pengagum Bung Karno. Kebetulan ia indekos bersama sekumpulan murid MULO (SMP) di Bukittinggi yang sedang keranjingan gerakan kebangsaan. Mereka mendiskusikan perjuangan kebangsaan, termasuk perjuangan Soekarno, dan setiap malam menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum tidur. Chaerul memang masih kecil, tapi obrolan anak-anak MULO itu telah membuatnya seolah kenal dengan Soekarno.
Setelah sekolah AMS (SMA) di Jakarta, seorang temannya yang bernama Abdullah Hassan (sekarang dokter tentara) selalu menyediakan buku-buku mengenai pergerakan kebangsaan. Abdullah mendapatkan buku-buku itu dari pamannya, Husni Thamrin, seorang pemimpin nasionalis Betawi, yang waktu itu tinggal di Sawah Besar. Karena dekat dengan pergerakan kemerdekaan, tak heran Chaerul kenal dengan Shimizu, pejabat Jepang yang menjadi pemimpin barisan propaganda Jepang (Gerakan Tiga A).
Pada tahun 1943, karena gerakan propaganda kurang mendapat sambutan, akhirnya Jepang membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menggerakkan potensi rakyat Indonesia (untuk membantu Jepang dalam perang Asia Timur). Kepulangan Bung Karno dari pengasingan di Sumatera pun dipermudah. Bung Karno kembali ke Jakarta dan mendarat di Pasar Ikan.
Perundingan kerjasama antara Jepang dan Soekarno-Hatta pun dimulai. Namun, konsep Jepang dan Soekarno-Hatta sama sekali berbeda. Akhirnya, disetujuilah pendirian pusat mobilisasi rakyat yang akan dipimpin “Empat Serangkai” dimotori Bung Karno dan Bung Hatta. Gerakan itu bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), yang berkantor di gedung bekas sekolah MULO, di Jalan Sunda.
Begitu persetujuan hampir mendekati realisasi, Jepang ingin menyediakan sebuah rumah dan mobil untuk Bung Karno. Mobil bekas Belanda memang banyak menumpuk di Gunseikanbu (Kantor Pertamina sekarang) dan untuk Bung Karno diberikan sebuah mobil Buick plus seorang sopir. Lalu, bagaimana dengan rumah untuk Bung Karno?
Pada suatu hari, Bung Karno datang ke Gunseikanbu bertemu Shimizu. Entah apa yang mereka bicarakan, tiba-tiba Chaerul Basri dipanggil Shimizu ke ruangannya. Bung Karno sedang duduk di belakang meja, sedang Shimizu mondar-mandir di depan Bung Karno. Ini adalah kebiasaannya. Ia tidak dapat duduk tenang di suatu tempat, tetapi selalu berjalan mondar-mandir kalau sedang berbicara.
Seingat Chaerul, Bung Karno waktu itu berpakaian mirip safari yang terbuat dari bahan yang waktu itu dikenal dengan nama merek kulit kayu. Shimizu memperkenalkan Chaerul pada Bung Karno. Memang, sebelumnya Chaerul sudah beberapa kali bertemu dengan Bung Karno, tetapi tidak bersifat resmi. Di kantor Shimizu itulah ia baru benar-benar berkenalan dengan Bung Karno.
“Pemuda", itulah panggilan Shimizu pada Chaerul, "bisakah cari rumah buat orang besar?" Yang dimaksud orang besar itu adalah Bung Karno. Sedangkan Shimizu sendiri menyebut dirinya: "saya jongos" atau "saya pelayan". Bung Karno sendiri tersenyum mendengar Shimizu berbicara.
Pada waktu itu Chaerul menjawab "bisa", karena ia kebetulan tahu banyak rumah yang baik, representatif, dan besar di daerah Menteng. Daerah Menteng dikenalnya karena waktu itu ia tinggal di Jalan Jawa No 112 (kini Jalan HOS Tjokroaminoto).
Pada saat saya hendak meninggalkan ruangan, tiba-tiba Bung Karno berkata, “Chaerul, kamu mengerti rumah macam apa yang aku inginkan.”
“Mengerti Bung, akan saya carikan rumah yang besar, mewah, dan cukup representatif,” jawab Chaerul.
Bung Karno tersenyum dan berkata lagi, ''Bukan, bukan itu yang saya maksud. Saya butuh rumah yang pekarangannya luas agar saya bisa menerima rakyat banyak!"
Chaerul terdiam dan tertegun. Pikirannya melayang ke mana-mana, karena baru sekali ini ia mendengar ucapan dari seseorang yang mengaitkan tempat kediamannya dengan rakyat banyak.
Chaerul telah beberapa kali mencarikan rumah untuk pemimpin-pemimpin lainnya dengan syarat yang sama: rumah yang representatif, besar, mewah, dan berada di jalan yang terkemuka. Persyaratan itu telah baku, tapi tidak buat Bung Karno. Dengan penuh pemikiran tentang persyaratan yang diajukan Bung Karno, Chaerul meninggalkan ruangan itu.
Hal ini diceritakan Chaerul pada Adel Sofyan, teman sekerjanya. Sore harinya, dengan berboncengan sepeda mereka berkeliling daerah Menteng. Ada rumah-rumah besar dan luas di sekitar Taman Suropati, tetapi semuanya telah ditempati pembesar Jepang. Akhirnya, mereka tiba di Jalan Pegangsaan Timur (Jalan Proklamasi sekarang), terlihat sebuah rumah yang cukup luas pekarangannya.
Rumah itu sederhana. Barangkali lebih cocok dikatakan seperti sebuah rumah yang terletak di tengah perkebunan. Serambi depan rumah itu terbuka, halamannya yang luas ditumbuhi pohon-pohon. Mereak berdiri di depan rumah, dan berkeliling memeriksanya dari samping. Akhirnya Chaerul berkata pada Adel bahwa mungkin rumah ini cocok dengan selera Bung Karno.
Esoknya, mereka melaporkan hasil penjajakan. Shimizu langsung menelepon Bung Karno. Terjadilah tanya jawab antara Shimizu dan Bung Karno mengenai rumah itu. Karena Shimizu tidak dapat menjelaskannya dalam bahasa Indonesia, maka ia menyerahkan telepon, dan Chaerul menceritakan tentang rumah itu. Ternyata, Bung Karno pernah lewat di depan rumah itu, dan juga tertarik. Alangkah gembiranya Chaerul.
Shimizu lalu menyuruh Chaerul untuk mengosongkan rumah tersebut. Sorenya, Chaerul dan Adel balik lagi ke rumah itu untuk berunding dengan pemilik rumah. Di sana mereka hanya diterima nyonya rumah (yang masih muda) dan anaknya yang berumur empat tahun, karena tuannya beberapa hari yang lalu diasingkan oleh Jepang.
Chaerul dan Adel menjelaskan maksud mereka dalam bahasa Belanda, dan menawarkan rumah lain yang lebih layak, walau tidak berhalaman luas. Serta-merta sang nyonya marah-marah dan mengatakan tidak akan keluar dari rumah itu apa pun yang terjadi. Mereka tidak melayani, karena maklum dengan kondisi kejiwaan sang nyonya: suami baru diasingkan, lalu rumah kesayangan mau diambil.
Saat melapor pada Shimizu, Chaerul mengusulkan agar pemindahan nyonya itu dilakukan melalui pemerintah, dan nyonya tersebut diberi ganti rugi rumah yang layak. Seminggu kemudian rumah itu berhasil dikosongkan, dan sang nyonya dipindahkan ke sebuah rumah bertingkat di Jalan Lembang. Semenjak itu, mulailah Bung Karno dan Ibu Fatmawati menempati rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu sebagai kediaman resmi.
Setelah berhasil mendapatkan rumah itu, hubungan Chaerul dengan Bung Karno dan Ibu Fatmawati menjadi semakin dekat. Chaerul kenal dengan Ibu Fatmawati pertama kali di atas feri yang membawanya dari Tanjung Karang menuju Merak. Perkenalan itu atas jasa sahabatnya, Semaun Bakri, yang ditugaskan Bung Karno untuk menjemput Ibu Fatmawati dari ke Tanjung Karang.
Waktu itu, Ibu Fatmawati belum memakai nama Fatmawati. Semaun berbisik pada Chaerul bahwa Fatmawati akan mendampingi Bung Karno di Jakarta setelah berpisah dengan Ibu Inggit. Fatmawati masih berkerudung dan memakai pakaian ala Sumatera.
Chaerul tercatat pernah menjalani kehidupan militer dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal (Purn). Selain itu, ia pernah menjabat Sekjen Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi (Depnakertranskop) tahun 1966-1979 dan sebagai Ketua Bidang Sosial Budaya dan Kesejahteraan di Markas Besar Legiun Veteran RI.
Sementara itu, seperti juga Chaerul, Adel Sofyan masuk ke dunia militer, mulai dari BKR (Badan Keamanan rakyat), TKR (Tentara Keamanan Rakyat), sampai menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). Karirnya di angkatan bersenjata tercatat sebagai Kepala Staf Resimen 6 Cikampek, Brigade Kiansantang, Divisi Siliwangi. Namun, konflik internal yang terjadi di tubuh angkatan bersenjata pada tahun 1946 sempat mengakibatkan pertumpahan darah.
Adel Sofyan beserta Komandan Resimen VI, Letkol Soeroto Kunto, hilang diculik pada November 1946, dan tidak pernah diketahui lagi nasibnya. Kecurigaan kuat, penculikan dilakukan oleh pihak Laskar Rakyat. Hal ini berbuntut panjang. Pada tahun 1947, tentara pemerintah menumpas Laskar Rakyat di Karawang.***

Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978,

RIWAYAT HIDUP M. HUSEIN MUTAHAR

Nama : Haji M. Husein Mutahar

Lahir : Semarang, 5 Agustus 1916


SEKOLAH:
ELS (Europese Lagere School) (SD Eropa 7 tahun), merangkap mengaji/membaca Al-Quran pada guru wanita, Encik Nur.
MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondewwijs) atau SMP 3 tahun di Semarang, merangkap mengaji pada Kiai Saleh.
MS (Algemeen Midelbare School) atau SMA, jurusan Sastra Timur, khusus bahasa Melayu, di Yogyakarta.
Universitas Gajah Mada, Jurusan Hukum merangkap Jurusan Sastra Timur, khusus Jawa Kuno di Yogyakarta (sesudah 2 tahun drop out karena perjuangan).
Semua Kursus/Training Pemimpin Pandu di Indonesia dan di London.
Training School Diplomatic and Consulair Affairs di Nederland.
Training School Diplomatic and Consulair Affairs di kantor PBB (United Nation Organization/UNO), New York.
PEKERJAAN:
Guru Bahasa Belanda di SD swasta Islam di Pekalongan.
Wartawan berita kota, surat kabar Belanda "Het Noor­den" di Semarang, 1938.
Klerk di Cosultatie Bureau der Afdeling Nijverheid voor Noord Midden Java, Departement Ekonomische Zaken, 1939-1942.
Sekretaris Keizai Bucho (Kepala Bagian Ekonomi) Kantor Gubernur Jawa Tengah, 1943.
Pegawai Rikuyu Sokyoku (Jawatan Kereta Api Jawa Tengah Utara) di Semarang, 1943-1948.
Sekretaris Panglima Angkatan Laut Republik Indonesia, 1945-1946.
Ajudan III, kemudian Ajudan II Presiden Republik Indonesia, 1946-1948.
Pegawai Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 1969-1979.
Diperbantukan pada Departemen Pendidikan dan Kebu­dayaan sebagai Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pra­muka (Dirjen Udaka) Departemen P&K, 1966-1968.
Diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia pada Tahta Suci di Vatikan, 1969-1973.
Direktur Protokol Departemen Luar Negeri merangkap Protokol Negara, 1973-1974
InspekturJenderal Departemen Luar Negeri dan se­la­ma 16 bulan, merangkap Direktur Protokol dan Konsu­ler Departemen Luar Negeri, merangkap Kepala Protokol Negara, 1974.
Pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, golongan IVe.


PERGERAKAN:
Pemimpin Pandu dan Pembina Pramuka, 1934-1969
Anggota Partai Politik, 1938-1942
Kepala Sekolah Musik di Semarang, se­bagai tempat penanaman, penye­bar­an, dan pengobaran semangat ke­bangsaan Indonesia, sebagai gerakan melawan penyebaran semangat Je­pang dan bungkus gerakan subversi lawan Jepang, 1942-1945
Anggota AMKRI (Angkatan Muda Ke­reta Api Indonesia) di Semarang, 1945.
Anggota BPRI (Badan Pemberontak Rakyat Indonesia) Jawa Tengah, 1945.
Anggota redaksi majalah ”Revolusi Pe­muda”, 1945-1946.
Gerilya, 1948-1949
Ikut mendirikan dan bergerak sebagai pemimpin Pandu serta kemudian menjadi anggota Kwartir Besar Or­ga­nisasi Persatuan dan Kesatuan Kepanduan Nasional Indonesia ”Pandu Rakyat Indonesia”, 28-12-1945 s.d. 20-5-1961.
Ikut mendirikan dan bergerak sebagai Pembina Pra­muka, duduk sebagai anggota Kwartir Nasional Ge­rak­an Pramuka dan Andalan Nasional Urusan Lati­h­an,1961-1969.
Sekretaris Jenderal Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka, 1973 -1978, dan anggota biasa, 1978-2004.
Alumni Penataran P-4 Tingkat Nasional XIX,1980.
Ketua Umum organisasi sosial di bidang pendidikan ”Parani Dharmabakti Indonesia” (PADI), 1987–2004.
Ketua Dewan Pengawas ”Yayasan Idayu”.


HOBI:
Seni Suara
Studi Agama Islam dan perbandingan agama-agama serta organisasi kerohanian, baik di dunia Timur maupun Barat.


KELUARGA:
Tidak menikah, namun mempunyai 8 anak semang (6 laki-laki dan 2 perempuan). Sebagian merupakan ”se­rahan” dari ibu mereka —yang janda— atau bapak me­reka —beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Ada pula bapak/ibu yang sukarela menyerahkan anaknya untuk diakui sebagai anak sendiri. Semua sudah beru­mah tangga dan mempunyai 15 orang cucu (7 laki-laki dan 8 perempuan).


MENINGGAL DUNIA:
Hari Rabu, 9 Juni 2004, pukul 16.30 WIB, dalam usia 87 ta­hun di Jln. Damai No.20 Cipete, Jakarta Selatan. Dima­kamkan di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Ja­kar­ta Selatan. Sebetulnya, beliau berhak dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata karena memiliki tanda kehormatan ”Mahaputera” atas jasa menyelamatkan bendera pusaka Merah Putih dan ”Bintang Gerilya” atas jasanya ikut perang gerilya tahun 1948-1949. Tetapi, beliau tidak mau, bahkan mengurus hal itu kepada pengacara dengan membuat surat wasiat.


Sumber: Drs H. Idik Sulaeman, AT, Booklet Paskibraka 2004

MENJAGA SEJARAH PASKIBRAKA

Mulanya, saya tidak begitu peduli ketika Latihan Paskibraka di tingkat nasional tidak lagi ditangani oleh Departemen Pendidikan Nasional (melalui Direktorat Kepemudaan, Ditjen Diklusepora) mulai tahun 2005. ”Ah, silabus latihannya kan sudah dibakukan, pasti tidak ada masalah. Buktinya, masih ada Paskibraka yang mengi­barkan bendera pusaka di Istana Merdeka,” pikir saya.Saya lalu membayangkan, orang-orang yang tadinya biasa menangani latihan itu tentu masih terus diikutsertakan sebagai pembina ketika latihan kini ditangani oleh Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Ada sebuah kesinambungan ’sejarah’ yang tidak harus diting­galkan begitu saja. Paling tidak, ’benang merah’ akan tetap tersambung dengan kuat.Namun, sebersit rasa ragu akhirnya berke­le­bat juga di benak saya. Jangan-jangan, yang terjadi tidak seperti yang saya bayangkan. Seberapa besar persentase perubahan yang telah terjadi akibat perbedaan dalam birokrasi penyelenggara latihan, saya sendiri belum per­nah mengukur.Akhirnya, bertemulah saya dengan sese­orang yang menjadi ”saksi hidup” Paskibraka selama 35 tahun. Manusia langka yang bernama Slamet Rahardjo itu bukan saja menjadi saksi sejarah Paskibraka sejak 1970, tapi ia juga menjadi orang yang menjaga setiap lembar dokumen Paskibraka dalam lemarinya ketika Direktorat Pembinaan Generasi Muda masih berada di Jalan Merdeka Timur 14 Gambir, Jakarta.Dari cerita yang saya terima, akhirnya ke­kha­watiran saya seolah menemukan pem­benaran. Persoalan birokrasi dengan dibo­yongnya Direktorat Kepemudaan dari Gedung E Depdiknas ke Deputi II Kantor Menpora telah memberi dampak yang amat besar dan menakutkan bagi saya. Bukan saja dalam masalah pembinaan Paskibraka, tapi juga dengan dokumen-dokumen sejarah Paski­braka.
*** Dulu, ketika masih di Gambir, Ditbinmud (kita masih saja menyebutnya dengan PGM sampai sekarang) menjadi ’Rumah Paskibraka’ yang begitu sejuk dan nyaman. Setiap Purna Paskibraka datang dari daerah tidak pernah lupa singgah. Purna yang sudah berada di Jakarta sekalipun, selalu berhenti atau membelokkan kenda­raan­nya, sekadar untuk temu kangen dengan mantan pembinanya.Di ’rumah’ itu, yang dibutuhkan Purna Pas­kibraka selalu tersedia: foto-foto ketika latihan, data diri atau alamat teman-teman seang­katan dan arsip apa saja tentang latihan Paskibraka. Atau, beberapa kali, pernah ada Purna Paski­bra­ka yang datang untuk meminta salinan sertifikat ’Latihan Kepemudaan/Paskibraka’ karena ingin mendaftar di Akademi Militer/Kepolisian. Semuanya ada dalam arsip, dan bisa digandakan kapan saja.Mereka bisa mengetuk setiap pintu ruangan atau ’ngobrol’ akrab dengan setiap orang di PGM, termasuk Direkturnya. Purna selalu disambut dengan senyum di rumah itu. Begitu PGM pindah ke Gedung E Depdiknas di Senayan (dan berubah menjadi Direktorat Kepemudaan), suasana seakrab di Gambir tak lagi bisa ditemui. Anda harus melapor ke resepsionis Diklusepora lebih dulu, mengisi buku tamu, dan berbagai macam persyaratan layaknya bertamu ke sebuah gedung perkan­toran. Tapi masih untung, karena ada orang yang Anda kenal di sana. Dan dokumen-do­kumen Paskibraka masih utuh meski sedikit berceceran ketika dibawa pindah.Sekarang, ketika Direktorat Kepemudaan dilikuidasi dari Depdiknas dan diboyong ke Kantor Menpora, yang terjadi sangat membuat miris. Pemindahan birokrasi —yang sangat sarat politis— itu berdampak sangat buruk bagi sejarah maupun masa depan Paskibraka. Sebagian besar personalia PGM (terutama yang senior) tidak bersedia ikut pindah ke Kan­tor Menpora, mengakibatkan tidak terjamin­nya lagi kualitas ”Gladian Sentra” dalam latihan Paski­braka. Personalia PGM yang ’terpecah belah’ tidak lagi sempat memikirkan Paskibraka, karena lebih memilih ’peduli’ pada nasib sendiri.Dalam keadaan seperti itu, seorang Slamet Rahardjo pun tidak lagi bisa menentukan apa­kah isi lemarinya harus ikut diboyong ke tempat yang baru sementara ia tetap tinggal di Dep­diknas. Atau, segerobak arsip —termasuk lem­baran formulir biodata asli tulisan tangan anggota Paski­bra­ka— itu harus dibawa pu­lang ke rumahnya di Bekasi. Tapi untuk apa?Pada saat-saat kalut seperti itu, dia pun lupa untuk menitipkan dokumen-dokumen berseja­rah pada Purna Paskibraka. Pengurus PPI —yang seharusnya peduli— pun tidak pernah berbuat sesuatu. Akhirnya, kertas-kertas do­ku­men itu masuk ke gudang, dijual kiloan ke lapak, atau dibakar.Tidak diketahui persis, berapa banyak arsip tentang Paskibraka yang telah hilang. Berapa banyak pula yang masih ada, namun diurus oleh orang-orang yang tidak kita kenal di Deputi II Menpora. Betapa sulitnya kini untuk meleng­kapi dan mendokumentasikan data Paskibraka, Komandan Pasukan (Danpas), Pembina dan Pelatih, karena catatan itu sebagian besar te­lah hilang.
*** Malam pertama setelah saya seharian ngobrol habis-habisan dengan Kak Slamet, airmata saya sempat meng­am­bang. Begini tragiskah episode akhir dari sebuah keluarga bernama Paskibraka? Begitu sulitkah mencari orang-orang yang mau peduli pada ’korps’ yang telah membuat diri mereka bangga karena berbeda dari yang lain?Semenjak PGM tak lagi berada di Gambir, kita telah kehilangan ”rumah” dan ”sekolah” yang sejuk dan nyaman. Sejak kepergian Kak Mutahar, Bunda Bunakim dan Kak Darminto, kita hampir-hampir tak lagi punya ”orangtua” dan ”guru” karena yang tersisa hanya Kak Idik Sulaeman. Kini, setelah PGM tidak ada lagi dan hilang bersama sebagian besar dokumen-dokumen Paskibra­ka, kita kembali mengalami musibah kehilangan ”ijazah”.Bayangkanlah beberapa tahun lagi, ketika orangtua dan guru-guru kita benar-benar se­mu­a­nya telah pergi. Maka, sempurnalah kita, Purna Paskibraka, akan menjadi ”yatim piatu yang kehilangan orangtua dan guru, rumah dan sekolah serta ijazah”. Itu berarti, kita juga akan kehilangan ”sejarah” karena kita memang tak pernah mau menjaganya.


Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978

KISAH DUA CARIK KAIN MERAH & PUTIH

Tak banyak cerita yang selama ini terungkap tentang bendera pusaka. Sebagian besar orang bilang kalau bendera berukuran 2x3 meter itu dijahit dengan tangan oleh Ibu Fatmawati. Tapi, dalam sebuah pameran foto yang diselenggarakan oleh keluarga Bung Karno, diperlihatkan kalau Ibu Fat menjahit bendera itu dengan sebuah mesin jahit.
Entah mana yang benar, yang pasti bendera hasil jahitan Ibu Fat itulah yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan oleh Soekarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Cerita tentang sebelum bendera itu dijahit, hampir tidak pernah diketahui orang.
Tetapi nanti dulu… Ini ada kisah dari penuturan pelakunya sendiri tentang dari mana Ibu Fat mendapatkan kain untuk membuat bendera pusaka.
Pada 1944, Jepang telah menjan­jikan kemerde­­kaan untuk Indonesia. Bendera Me­rah Putih sudah diizinkan untuk diki­bar­kan dan lagu Indonesia Raya boleh diku­man­dang­kan di seluruh Nu­san­tara. Ibu Fat, istri Bung Kar­no “Sang Prok­lamator”, termasuk orang yang bingung karena tidak punya bendera untuk dikibarkan di depan rumahnya, Jalan Pegang­saan Timur 56 Jakarta, bila nanti kemerdekaan diproklamasikan.
Membayangkannya memang sulit. Saat sebagian rakyat Indonesia tak punya pakaian dan memakai kain karung, Ibu Fat perlu kain berwarna merah dan putih untuk membuat bendera. Kain saat itu adalah barang langka, apalagi barang-barang eks impor semuanya masih dikuasai Jepang. Kalau­pun ada di black market (pasar gelap), untuk mendapatkannya harus diam-diam.
Ibu Fat kemudian memanggil seo­rang pemuda bernama Chaerul Basri. Sang pemuda di­min­tanya untuk menemui pembesar Jepang bernama Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih itu. Shimizu (masih hidup di Jepang dalam usia 92 tahun pada 2004) adalah orang yang ditunjuk pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia tahun 1943. Kedudukan/jabatan resminya saat itu adalah pimpinan barisan propaganda Jepang yaitu Gerakan Tiga A.
Shimizu yang politikus, tidak seperti orang Jepang lain­nya yang selalu bertindak kasar atas dasar hubungan keku­asaan. Shimizu rajin mende­ngarkan unek-unek, pikiran dan pendirian pihak Indonesia. Karena itu, ia lebih diang­gap ”teman” oleh dan mudah diterima di berbagai kalang­an, apa­lagi dengan kemampuan bahasa Indonesianya yang lumayan, meski masih terpatah-patah.
Memang benar, Shimizu dapat membantu Chaerul. Kain merah dan putih yang dibutuhkan Ibu Fat diperoleh melalui pertolongan pembesar Jepang lain yang mengepalai gudang di bilangan Pintu Air, di depan eks bioskop Capitol. Cerita itu terasa amat sepele dan tak pernah diingat-ingat oleh Chaerul maupun Shimizu.
Tahun 1977, Shimizu ber­kunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto, Malam harinya, Shimizu mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia yang pernah dikenalnya di zaman Jepang. Pada malam itulah, Ibu Fat menjelaskan kepada Shimizu bahwa bendera Merah Putih yang dikibarkan pertama kali di Pegangsaan Timur 56 dan pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 —yang se­karang dikenal dengan Bendera Pusaka— kainnya berasal dari Shimizu.
Ke­nyataan ini begitu mem­bang­gakan buat Chaerul maupun Shimizu, yang tak menyangka bila apa yang mereka lakukan begitu be­sar artinya untuk bangsa Indonesia sampai saat ini.

Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978

MUTAHAR & IDIK SEHARUSNYA KAYA RAYA

Kalau saja Husein Mutahar adalah seorang Ary Ginanjar Agustian, tentu Paskibraka akan menjadi jauh lebih besar dari sekarang. Kalau saja Idik Sulaeman adalah seorang Yves Saint Laurent, maka atribut Paskibraka tidak dipakai sembarangan seperti sekarang. Kalau keduanya digabungkan: Mutahar dan Idik pantas menjadi milyuner!

Ini sebenarnya cerita yang harus saya tulis bulan Agustus tahun lalu. Bagaimana pada suatu malam, seorang Idik Sulaeman hadir di depan 40 anggota Paskibraka DKI Jakarta 2008. Dengan tongkat dan tertatih-tatih, lelaki berusia 75 tahun itu masih bersedia hadir sebagai ikon Paskibraka atas undangan adik-adiknya, Paskibraka DKI Jakarta, pada saat forum latihan Paskibraka Nasional di Cibubur tak lagi mengundang dirinya.

Saat itu Kak Idik datang sendirian, tanpa pendamping, kecuali ditemani beberapa Pengurus PPI DKI Jakarta. Untung saja, dan biasanya selalu begitu, Kak Idik mengajak kami (saya Syaiful “Opul” Azram dan Budiharjo “Muztbhe” Winarno) untuk ikut. Kami datang? Tak mungkin tidak. Bagaimana bisa kami membiarkan seorang Idik --yang sudah kehilangan sebagian motoriknya akibat stroke beberapa tahun lalu dan agak sulit menyampaikan pikirannya kepada orang lain-- untuk menjelaskan soal Paskibraka dan menjawab pertanyaan seorang diri.

Dan benar saja, akhirnya kami berdua harus turun tangan (walaupun sebenarnya tak mengharapkan). Kak Idik hanya menjelaskan sepatah dua kata, sisanya kami yang meneruskan. Berbagai macam pertanyaan harus dijawab, maklum adik-adik Paskibraka DKI 2008 kan ingin tahu “makhluk” apa sebenarnya Paskibraka itu, dari A sampai Z.

Mulanya, tanggapan mereka datar-datar saja ketika sejarah Paskibraka dipaparkan. Mungkin, mereka sudah pernah membaca dari sumber mana saja, buku atau wikipedia. Tapi, mereka harus ternganga tak menduga, ketika diberitahukan bahwa selain menciptakan nama PASKIBRAKA dan mengusulkannya kepada Kak Husein Mutahar, Kak Idik adalah orang yang merancang semua atribut Paskibraka: mulai dari Seragam, lambang korps, lambang anggota, dan tanda pengukuhan seperti lencana merah-putih-garuda (MPG) dan kendit kecakapan.

Decak kagum dan tepuk tangan pun menggema, ketika dijelaskan bahwa orang yang ada di hadapan mereka itu jugalah yang merancang seragam sekolah dan atributnya: putih-merah untuk SD, putih-biru untuk SMP dan putih-abu2 untuk SMA, plus badge OSIS-nya.

Apa reaksi Kak Idik mendapatkan aplaus seperti itu? “Iya benar. Saya yang merancang semua itu. Tapi tidak dibayar…” ucapnya pendek. Dan, ucapan itu kembali disambut dengan tepuk tangan…

Apa inti dari cerita saya di atas?

Saya ingin membuka pikiran kita semua, Purna Paskibraka, bahwa para penggagas dan pencetus Paskibraka adalah orang-orang yang hebat. Mereka mempunyai pemikiran yang cerdas, matang dan melanglang jauh ke depan. Namun, di balik itu semua, mereka juga selalu bekerja dengan keras, ulet, dan… tanpa pamrih !!

Husein Mutahar menggagas Paskibraka dan berhasil menciptakan latihan mental-spiritual “Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila” yang demikian komplit. Idik Sulaeman menggenapi apa yang dilakukan “kakaknya” dengan menyempurnakan silabus, sistem dan metode pelatihan… plus seragam dan atribut Paskibraka.

Bayangkan kalau paket latihan yang penuh nuansa dan kebanggaan ini dapat dikembangkan secara profesional menjadi pelatihan semacam “ESQ Leadership Training” ala Ary Ginanjar Agustian. Pelatihan Paskibraka akan menjadi lebih dahsyat dan menghasilkan alumni yang jauh lebih hebat !!

Kalaulah pelatihan “Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila” dipatenkan menjadi sebuah pelatihan kepemimpinan yang profesional, berapa “income” yang bisa diperoleh seorang Husein Mutahar. Berapa banyak pelatihan Paskibraka yang dilaksanakan setiap tahun di seluruh Indonesia yang bisa memberikan royalti? Husein Mutahar bergelimang uang…

Kalaulah Idik Sulaeman mendaftarkan seluruh rancangannya ke Direktorat Hak Cipta, bayangkan royalti yang bisa diperolehnya dari setiap potong seragam Paskibraka. Berapa banyak pula hasil dari royalti pembuatan pakaian seragam sekolah dan atributnya. Kak Idik kaya raya…

Mestinya, seluruh Purna Paskibraka menyadari ini semua… Bahwa Husein Mutahar dan Idik Sulaeman sesungguhnya telah mewariskan sebuah memorabilia yang tak ternilai harganya.

Kalaulah Kak Mutahar masih ada, saya ingin mengungkapkan hal ini padanya sekarang. Kalau Kak Idik tidak memiliki keterbatasan di usianya yang lanjut, pasti akan saya ajak “kembali” untuk menata Paskibraka. Sayang, dua-duanya tidak lagi bisa saya lakukan. Yang bisa saya kerjakan hanyalah menuliskannya dalam kata-kata…

Sebenarnya, saya lelah mendengar cerita miring soal Paskibraka, soal pelatihannya yang kian hari kian jauh dari tujuan semula. Saya juga capek melihat aktivitas Purna Paskibraka yang hanya berkutat pada masalah-masalah sepele, debat kusir tanpa ujung-pangkal, atau rebutan kursi kepengurusan yang umurnya cuma empat atau lima tahun.

Padahal, kita semua melupakan satu hal yang paling esensial: bagaimana menjaga sejarah dan warisan Paskibraka yang nilainya tak terhingga. Lalu, mengelolanya menjadi sebuah aset yang dapat dikembangkan untuk kesinambungan pembinaan seluruh Purna. Tanpa bantuan orang lain, tanpa tergantung pada siapa pun.

Impian itu selalu datang dalam tidur saya… Tapi, yang saya temui adalah hari-hari yang sama keesokan harinya…

Ditulis oleh: Syaiful Azram, Paskibraka 1978

PASKIBRAKA

Paskibraka adalah singkatan dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka dengan tugas utamanya mengibarkan duplikat bendera pusaka dalam upacara peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Istana Negara. Anggotanya berasal dari pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas kelas 1 atau 2. Penyeleksian anggotanya biasanya dilakukan sekitar bulan April untuk persiapan pengibaran pada 17 Agustus di beberapa tingkat wilayah, provinsi, dan nasional.

Sejarah
Tahun 1967, Hussein Mutahar dipanggil presiden saat itu, Suharto, untuk menangani lagi masalah pengibaran bendera pusaka. Dengan ide dasar dari pelaksanaan tahun 1946 di Yogyakarta, beliau kemudian mengembangkan lagi formasi pengibaran menjadi 3 kelompok yang dinamai sesuai jumlah anggotanya, yaitu:

* Kelompok 17 / pengiring (pemandu),
* Kelompok 8 / pembawa (inti),
* Kelompok 45 / pengawal.

Jumlah tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 (17-8-45). Pada waktu itu dengan situasi kondisi yang ada, beliau hanya melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta dan menjadi anggota Pandu/Pramuka untuk melaksanakan tugas pengibaran bendera pusaka. Rencana semula, untuk kelompok 45 (pengawal) akan terdiri dari para mahasiswa AKABRI (Generasi Muda ABRI) namun tidak dapat dilaksanakan. Usul lain menggunakan anggota pasukan khusus ABRI (seperti RPKAD, PGT, marinir, dan Brimob) juga tidak mudah. Akhirnya diambil dari Pasukan Pengawal Presiden (PASWALPRES) yang mudah dihubungi karena mereka bertugas di Istana Negara Jakarta.

Mulai tanggal 17 Agustus 1968, petugas pengibar bendera pusaka adalah para pemuda utusan provinsi. Tetapi karena belum seluruh provinsi mengirimkan utusan sehingga masih harus ditambah oleh ex-anggota pasukan tahun 1967.

Pada tanggal 5 Agustus 1969, di Istana Negara Jakarta berlangsung upacara penyerahan duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan reproduksi Naskah Proklamasi oleh Suharto kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia. Bendera duplikat (yang terdiri dari 6 carik kain) mulai dikibarkan menggantikan Bendera Pusaka pada peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1969 di Istana Merdeka Jakarta, sedangkan Bendera Pusaka bertugas mengantar dan menjemput bendera duplikat yang dikibar/diturunkan. Mulai tahun 1969 itu, anggota pengibar bendera pusaka adalah para remaja siswa SLTA se-tanah air Indonesia yang merupakan utusan dari seluruh provinsi di Indonesia, dan tiap provinsi diwakili oleh sepasang remaja.

Istilah yang digunakan dari tahun 1967 sampai tahun 1972 masih "Pengerek Bendera". Baru pada tahun 1973, Idik Sulaeman melontarkan suatu nama untuk Pengibar Bendera Pusaka dengan sebutan PASKIBRAKA. PAS berasal dari PASukan, KIB berasal dari KIBar mengandung pengertian pengibar, RA berarti bendeRA dan KA berarti PusaKA. Mulai saat itu, anggota pengibar bendera pusaka disebut paskibraka.


Wassalam,

TERATAI MERAH_PUTIH

SMKN 2 KURIPAN

Foto saya
"Break your border, Touch the sky...!"

SLIDE PASKIBRA 2008